hai teman temin!!!! lama tak jumpa,,, aku osa luchuw kembali di blog tercintaku antartika-brou,,,, hehehehehe itu beberapa foto hasil kreasi JeJaMuR :) bagus kan,,, itu JeJaMuR 1, JeJaMuR 3 n JeJaMuR 4,,, oh iya JeJaMuR itu ada 4,,, JeJaMuR itu buat kos"an ku di gongstone.,, :) yah dibetah"in sie disana,, hee

Sebuah cahaya yang setiap saat menerangiku
Perlahan kini mulai meredup
Padahal aku yakin, ia mampu menerangiku sampai hari esok
Tetapi kini, ia mulai ragu untuk memancarkan sinarnya
Ia mulai ragu, apakah ia bisa menerangi ku,
Apakah ia bisa menjagaku selamanya

Wahai cahayaku, (sebutanku untuknya)
Aku ingin kau selalu ada untukku
Aku ingin kau menerima apapun keadaanku disini
Aku tak ingin sendiri, aku tak bisa tanpamu

Wahai cahayaku,
Apakah kau tahu aku disini untukmu?
Aku bisa mempertahankan hidupku karena kau
Aku kuat menghadapi semua ini karena kau
Kau adalah semangatku
Kau segalanya untukku

Wahai cahayaku,
Jika kau tetap meredup, dan semakin gelap,
Aku tak tahu apa yang akan terjadi denganku esok
Mungkin juga aku akan semakin gelap di duniaku


Wahai cahayaku,
Aku tak bisa hidup tanpamu
Aku ingin kau selalu untukku,
SELAMANYA...

Osa.....
12/4/10:19.16


Sebuah canda 
Sebuah jiwa senja
Seorang yang rajin
Seorang anak kecil
Sebuah bola
Seorang penasehat

Tapi saat ini adalah sebuah canda yang tak begitu penting yang bermaksud menemaniku
Kadang aku bahagia dengan itu, tapi kini entah mengapa aku mulai malas dengan canda itu

Sebuah jiwa senja yang sejak lama mendatangiku
Dia juga pernah mendung selama berbulan-bulan, tapi kini dia mulai menampakkan senjanya untukku
Dia menyiratkan tanda bahwa dia akan terus menyinariku

Seorang yang rajin yang selalu mengingatkanku untuk ingat pada penciptaku
Setiap waktu ibadah datang, dia selalu mengingatkanku untuk menjalankan kewajibanku
Dia juga memberiku sebuah kitab Al-Qur’an

Seorang penasehat yang dulu setia padaku
Setiap hari dia tak luput dari suara parauku di tengah malam
Yang selalu memberiku petuah-petuah demi kebaikanku
Dia juga sayang almh ibuku
Tapi,…. Kini dia meninggalkanku tanpa sebab yang jelas
Sebenarnya aku tak ingin ditinggalkannya karena aku juga membutuhkannya
Tapi karena ini memang keinginannya aku tak mampu berkata apa-apa lagi

Seorang anak kecil yang datang di depanku dan memanggilku dengan ‘kak’
Dia memberiku sebuah bola 
Dan dia memintaku untuk memeluk bola itu dan terus menjaganya

Sebuah bola baru yang menggelinding di depanku dan aku terima
Sebuah bola yang semakin lama semakin ku peluk dan tak ingin ku lepas..
Tapi… lama kelamaan dia ingin lepas dariku
Dia ingin menggelinding lagi dan aku tak boleh mengejarnya
Aku tak mau. Karena aku ingin tetap memeluknya
Ternyata… bola itu tetap kembali lagi padaku…

Aku tak ingin menjadi senja di sore hari. Walaupun sore yang sangat cerah sekalipun
Karena aku tak ingin larut dalam kesedihan akibat gelap gulita itu
Aku ingin menjadi jiwa yang cerah, secerah sinar di pagi hari
Dengan sinar pagi itu aku dapat mengawali semua yang terbaik yang bisa ku lakukan 
Aku tidak harus menanti, dan menanti
Ataupun menunggu, dan terus menunggu
Aku dapat melakukan apa yang ku mau karena sinarku yang cerah 
Dengan sinar pagi yang ku miliki aku ingin bersama dengan semua sinar
Aku tak ingin hanya dengan sebuah sinar yang aku cintai ataupun aku sayangi
Aku juga tak ingin sinar lain mulai bersinar hanya karena menungguku bersinar

(Walaupun hanya dengan sastra ini aku ingin dunia tahu bahwa aku memberikan sinarku ini untuk semuanya
Tetapi tetap, sinarku banyak aku berikan pada penciptaku, ALLAH SWT)
Sebuah sinar menyiratkan bahwa aku telah bahagia dengan sinar yang lain, tapi itu salah, itu tidak benar
Aku belum pernah merasakan sinar-sinar bahagia setelah gelap gulita itu menyelimutiku
Aku tak tahu kapan waktu yang tepat untuk sinar pagi ini dapat benar-benar cerah dan menyinari dunia dengan kebahagiaan, kebaikan, ketulusan dan kejujuran
Aku ingin semua sinar bersinar secerah pagi tanpa menunggu sinar lain untuk bersinar


Yang Lalu Biarkan Berlalu
Di ruang tamu kos-kosan, Nezi berdiri menyambut kedatanganku.
“Cho, ada telepon nih!”
“Dari siapa?” sambil aku meletakkan tas di meja.
“Didi”.
Kuambil handphone dari tangannya, dan kemudian, reject!
“Lho, Cho?” kata Nezi kebingungan melihat apa yang baru saja aku lakukan.
Aku naik ke lantai atas menuju kamarku sambil sedikit berteriak sebal. “Lain kali kalau dia telepon lagi, katakana saja salah sambung. Yang penting aku nggak mau terima telepon itu.”
“Memangnya Didi itu siapa sich? Kok kamu sampai segitunya?”
“Nggak tahu tuh! Orang gila kali!”
Untuk kelima puluh kalinya Didi meneleponku. Seseorang yang sudah lama hilang dari pikiranku. Semua itu berawal dari pertemuan yang tak disengaja di toko buku bulan lalu. 
Aku tak sempat menghindarinya karena jarak kami sangat dekat dan dia langsung mengenaliku.
“Chosa?”
Aku menatapnya sambil penasaran. “Maaf, siapa?”
“Ini aku, Didi.”
“Didi yang mana ya?”
“Ya Allah…. Memang ada berapa Didi sich di kehidupanmu?” mulai seorang cowok yang PD.
“Maaf sepertinya kamu salah orang,” aku hampir saja meninggalkannya, tetapi tangan Didi menahanku.
“Cho? Kamu benar-benar nggak ingat sama aku?” dia mendesak.
Aku memikirkan segala cara untuk bisa pergi dari sana. Dengan sikapku yang cuek, aku menjawab dengan sinis, “Ada seorang Didi yang dulu pernah ku kenal, tapi dia sudah meninggal. Lalu, kamu siapa? Hantunya?”
Dia kaget mndengar jawabanku dan membiarkan aku pergi.
Kemudian Didi menghubungiku ke rumah. Aku tak mengira kalau dia masih mengingat nomor telepon rumahku. Vasa, adikku yang baik tapi terkadang menyebalkan memberitahukan padanya bahwa aku kos dibelakang kampusku dan memberikan nomor telepon. Aku ingin sekali mengacak-acak rambutnya sampai tak bisa dirapikan lagi.
Didi adalah sebuah kisah menyeramkan di masa SMA yang ingin sekali ku lupakan dan kubuang jauh kisah itu. Karena merasa ganteng, dia sangat PD. Katanya, aku beruntung sekali dipilih jadi pacarnya. Masih banyak cewek yang lain yang lebih cantik, baik dan yang lebih segalanya serta pantas digandengnya. Bukan seperti aku, gendut, dan jelek. 
Aku nggak tahu dimana letak keberuntungan yang dimaksudkan oleh Didi. Ketika cewek-cewek satu sekolah melirik iri dan benci denganku. Ketika Inda, cewek terpopuler di sekolah melabrakku di kamar mandi sekolah dan mengancamku agar menjauhi Didi. Atau ketika Didi bergandengan dengan cewek lain pergi berdua sedangkan aku menunggunya di rumah sampai ketiduran? Dua setengaj bulan aku bersamanya, tapi aku tak pernah merasa bahagia.
Nezi menganggukkan kepalanya pertanda dia mengerti. “Ow… jadi begitu ceritanya? Sombong juga tu cowok! Secakep apa sih orangnya Cho? Fotonya masih ada?”
“Huft! Nggak penting!”

“Cowok ganteng….keren….cool…..!!!! Cho! Arah jam tiga,” bisik Nezi.
Aku tak memperhatikannya. Memang akhir-akhir ini Nezi sering aneh. Semua cowok dia bilang cakeplah, gantenglah, cool-lah.
“Yakin Nez sama matamu? Nggak ada yang salah?” sambil aku melahap potongan roti terakhir.
“Cho! Dia kesini! Cakep….!!”
Aku mengangkat mukaku. Tidak! Badanku mulai lemas.
Nezi sibuk merapikan dandanannya. “Gimana Cho? Aku udah rapi belum?”
“Nezi!” aku membentaknya. “Nggak penting banget tau! Itu si Playboy yang baru aja aku bilang!”
Nezi kaget, tapi matanya tak lepas dari cowok yang mulai mendekati meja kami. “Ya Allah… dia kayak pangeran.”
“Pangeran kodok! Ambil sana kalau mau!” aku beranjak dari kursiku. Tetapi Didi menghalangiku.
“Mau pergi kemana Cho?” tanyanya sok baik.
“Bukan urusan kamu!” aku menjawabnya dengan ketus.
“Cho, aku mau bicara sebentar sama kamu.”
“Ngomong aja sama meja sana!” dan aku memaksanya menyingkir dariku.

Sampai di kos-kosan aku marah-marah. Tasha dan Shinta, sesama penghuni kos, gemetar.
“Maaf, Cho. Tapi kita kan nggak bisa bohong terus,” Shinta berkata lirih, takut dibentak. 
“Siapa yang bilang bohong? Kalian membantuku mencegah bencana dan malapetaka! Inisiatif kek, bilang ini kantor pos kek, kantor polisi kek, pemadam kebakaran kek, yang penting bukan kosanku!” aku masih marah-marah.
“Kalau kehabisan kata-kata?”
“Tutup aja teleponnya.”
“Tadi dia datang kesini Cho. Bukan telepon.”
Aku benar-benar lemas. Kenekatan ini harus dihentikan. Kemudian aku naik ke atas menuju kamarku untuk istirahat.

Nezi mengelus rambut dan keningku. “Aku minta maaf untuk Tasha dan Shinta,Cho. Mereka nggak sepenuhnya salah. Kamu nggak bisa melibatkan semua orang dalam masalahmu.”
“Udah terlambat,” jawabku lesu. “Lagipula Didi sudah berani datang kesini.”
“Sekarang saja dia sudah ada di ruang tamu, menunggumu.”
“Apa?”
“Cho, jangan lari terus. Capek. Beri Didi kesempatan sekali ini saja untuk bicara. Dia kan punya perasaan juga. Siapa tau dia mau minta maaf sama kamu.”
Perkataan Nezi masuk akal. Aku berdiri dan menuju kamar mandi. Teringat ucapan Mama, jangan terlalu kasar sama cowok.
Sambil membasuh mukaku, aku menyiapkan kalimat-kalimat yang mungkin akan ku bicarakan dengan Didi. Cho, kita balikan kayak dulu yuk. Nggak usah ya. Maafin aku ya, Cho. Udah kebanyakan minta maaf!. Kamu udah punya pacar baru,Cho? Heh, kamu kira aku nggak laku?
Kepalaku sudah mulai berdenyut saat aku menjumpai Didi di ruang tamu. Kubalas senyumnya walaupun sedikit memaksa dengan sedikit tanda untuk menyuruhnya pergi dari sana.
“Maaf Cho, aku ganggu kamu.” Bener kan? Cowok kayak gini mana mungkin minta maaf sama kesalahannya yang dulu? Inget aja juga nggak.
“Langsung aja,” aku menghela nafas.
“Begini,” Didi mendekatiku. Aku membuang muka, walaupun sempat melirik sesuatu berwarna merah di tangannya. Ya Allah! Dulu kami pernah surat-suratan dengan kertas berwarna merah juga. Apa dia ingin mengingatkanku tentang masa lalu?
“Mudah-mudahan kamu mau…”
Aku menoleh padanya, siap untuk mengeluarkan segala kemarahanku.
“…hadir di pesta pernikahanku bulan depan. Aku telah melamar Nirma. Kamu masih ingat Nirma kan?”
Kutajamkan mata pada apa yang dibawanya. Sehelai kartu undangan.


award ku....


jihan
fbycom

My Signature...

PENGIKUT QUE

KATA BLOGGER !!!


ShoutMix chat widget

About this blog

haei...

ni blog gak tau juga sbener na ttg upu

ya campur2 lah....

thanks udah berkunjung

thanks bgt buat yg ud folloewqu

Blog Archive